Kenakalan Remaja Atau Kenakalan Orang Tua
|
Akhir-akhir ini fenomena kenakalan remaja makin meluas. Bahkan hal ini sudah terjadi sejak dulu. Para pakar psikolog selalu mengupas masalah yang tak pernah habis-habisnya ini. Kenakalan Remaja, seperti sebuah lingkaran hitam yang tak pernah putus. Sambung menyambung dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari tahun ke tahun dan bahkan dari hari ke hari semakin rumit. Masalah kenalan remaja merupakan masalah yang kompleks terjadi di berbagai kota di Indonesia. Sejalan dengan arus modernisasi dan teknologi yang semakin berkembang, maka arus hubungan antar kota-kota besar dan daerah semkain lancar, cepat dan mudah. Dunia teknologi yang semakin canggih, disamping memudahkan dalam mengetahui berbagai informasi di berbagai media, disisi lain juga membawa suatu dampak negatif yang cukup meluas diberbagai lapisan masyarakat.
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungannya, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri.
Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya. Pertanyaannya : tugas siapa itu semua ? Orang tua-kah ? Sedangkan orang tua sudah terlalu pusing memikirkan masalah pekerjaan dan beban hidup lainnya. Saudaranya-kah ? Mereka juga punya masalah sendiri, bahkan mungkin mereka juga memiliki masalah yang sama. Pemerintah-kah ? Atau siapa ? Tidak gampang untuk menjawabnya. Tetapi, memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai pemahaman akan perkembangan anak-anak kita dengan baik, akan banyak membantu mengurangi kenakalan remaja. Minimal tidak menambah jumlah kasus yang ada.
Kenakalan remaja, merupakan salah si anak? atau orang tua? Karena ternyata banyak orang tua yang tidak dapat berperan sebagai orang tua yang seharusnya. Mereka hanya menyediakan materi dan sarana serta fasilitas bagi si anak tanpa memikirkan kebutuhan batinnya. Orang tua juga sering menuntut banyak hal tetapi lupa untuk memberikan contoh yang baik bagi si anak. Sebenarnya kita melupakan sesuatu ketika berbicara masalah kenakalan remaja, yaitu hukum kausalitas. Sebab, dari kenakalan seorang remaja selalu dikristalkan menuju faktor eksternal lingkungan yang jarang memerhatikan faktor terdekat dari lingkungan remaja tersebut dalam hal ini orangtua. Kita selalu menilai bahwa banyak kasus kenakalan remaja terjadi karena lingkungan pergaulan yang kurang baik, seperti pengaruh teman yang tidak benar, pengaruh media massa, sampai pada lemahnya iman seseorang.
Ketika kita berbicara mengenai iman, kita mempersoalkan nilai dan biasanya melupakan sesuatu, yaitu pengaruh orangtua. Didikan orangtua yang salah bisa saja menjadi faktor sosiopsikologis utama dari timbulnya kenakalan pada diri seorang remaja. Apalagi jika kasus negatif menyerang orangtua si remaja, seperti perselingkuhan, perceraian, dan pembagian harta gono-gini. Mungkin kita perlu mengambil istilah baru, kenakalan orangtua.
Orang tua, sering lupa bahwa prilakunya berakibat pada anak-anaknya. Karena kehidupan ini tidak lepas dari contek-menyontek prilaku yang pernah ada. Bisa juga karena ada pembiaran terhadap perilaku yang mengarah pada kesalahan, sehingga yang salah menjadi kebiasaan. Para orang tua jangan berharap anaknya menjadi baik, jika orang tuanya sendiri belum menjadi baik. Sebenarnya nurani generasai ingin menghimbau “Jangan ajari kami selingkuh, jangan ajari kami ngomong jorok, tidak jujur, malas belajar, malas beribadah, terlalu mencintai harta belebihan dan lupa kepada Sang Pencipta, yaitu Allah.â€
Tulisan ini mencoba mengajak merenung bagi kita para orangtua, bahwa kenakalan tak selalu identik dengan remaja, tapi justru banyak kenakalan yang dilakukan oleh para orangtua (di rumah, di masyarakat, dan di pemerintahan) yang akhirnya juga menjadi inspirasi remaja untuk berbuat nakal. Menyedihkan memang!
Kenakalan orangtua dalam ikatan keluarga
Contohnya seperti :
Suka berkata-kata kasar, suka menghujat atau memaki, mengajari anak untuk melakukan perlawanan ketika anak diganggu orang lain, suka menyakiti anak secara fisik dan psikis, merokok seenaknya di depan anak-anak, dl (masalah akhlak).
Mengabaikan pelaksanaan syariat, sholat misalnya, banyak juga kita orang tua yang mengabaikan sholat, melalaikan sholat, bahkan tidak pernah sholat, membiarkan anak-anak gadisnya tidak menutup aurat, membiarkan anak-anaknya bergaul bebas (pacaran), membiarkan anak-anaknya minum-minuman keras, dll.
Kenakalan orangtua di masyarakat
Contohnya seperti :
Menciptakan suasana yang tidak produktif (bapak-bapaknya), misalnya waktu pagi, siang dan malam suka nongkrong sambil main gaple, atau main catur, walau tidak pakai uang, ini sama saja artinya tidak menjaga kehormatan diri, apalagi kehormatan keluarganya (istri dan anak-anaknya)? Sedangkan yang ibu-ibunya suka ngumpul sambil berghibah atau memfitnah, menghambur-hamburkan uang dengan gaya hidup yang konsumtif yaitu belanja di mall atau supermarket, bergaya hidup mewah.
Menyediakan sarana kemaksiatan, ini misalnya, jadi bandar narkoba, jadi bandar judi, menyediakan tempat hiburan (diskotik).
Pendidik yang lalai, ini bisa kita lihat di sekolah atau di kampus, padahal lembaga pendidikan adalah tempat yang aman untuk menimba ilmu pengetahuan atau belajar, tapi kenyataannya banyak pendidik yang memberikan contoh yang tidak baik terhadap anak didiknya, misalnya melakukan perbuatan asusila, menganiaya anak didiknya secara fisik, menjual ilmu demi keuntungan materi atau sering melakukan dosa pendidikan.
Menjadi pemilik media massa (baik cetak maupun elektronik: koran, majalah, tabloid, radio, televisi, dan juga internet) yang ‘hobi’ menampilkan bacaan, gambar dan tontonan yang merusak akhlak (pornografi, kekerasan, dan seks bebas) yang berlindung atas nama bisnis.
Kenakalan orangtua di pemerintahan
Contohnya seperti :
Suka korupsi, mengambil kebijakan menaikkan biaya pendidikan, menaikkan harga BBM, mahalnya biaya kesehatan, suka membuat janji-janji tapi lalu melupakannya, suka melakukan pungli atau suap menyuap.
Suka melanggengkan kemaksiatan, memberi izin untuk usaha prostitusi/lokalisasi, perjudian, tempat diskotik, pabrik minuman keras, dengan dalih besar pemasukannya.
Menutup mata terhadap problem yang diakibatkan usaha prostitusi, perjudian, narkoba, peredaran minuman keras, diskotik, dll.
Menerapkan aturan kehidupan yang tidak benar dan tidak baik, yakni Kapitalisme-Sekularisme (termasuk juga Sosialisme-Komunisme).
Marilah kita uraikan satu persatu petuah atau nasihat-nasihat yang kita berikan sebagai orangtua kepada anak-anak kita padahal kita melakukan dan tidak melakukannya :
|
Minggu, 07 Oktober 2012
Kenakalan Remaja Atau Kenakalan Orang Tua
Kamis, 27 September 2012
Jangan Sebut Anak Anda “Nakal”
“Anak saya ini nakal sekali”, kata seorang ibu.
“Kamu itu memang anak nakal”, kata seorang bapak.

Kalimat itu sering kita dengarkan dalam kehidupan sehari-hari. Sangat sering kita mendengar orang tua menyebut anaknya dengan istilah nakal, padahal kadang maksudnya sekadar mengingatkan anak agar tidak nakal. Namun apabila anak konsisten mendapatkan sebutan nakal, akan berpengaruh pada dirinya.
Predikat-predikat buruk memang cenderung memiliki dampak yang buruk pula. Nakal adalah predikat yang tak diinginkan oleh orang tua, bahkan oleh si anak sendiri. Namun, seringkali lingkungan telah memberikan predikat itu kepada si anak: kamu anak nakal, kamu anak kurang ajar, kamu anak susah diatur, dan sebagainya. Akibatnya, si anak merasa divonis.
Hindari Sebutan Nakal
Jika tuduhan nakal itu diberikan berulang-ulang oleh banyak orang, akan menjadikan anak yakin bahwa ia memang nakal. Bagaimanapun nakalnya si anak, pada mulanya tuduhan itu tidak menyenangkan bagi dirinya. Apalagi, jika sudah sampai menjadi bahan tertawaan, cemoohan, dan ejekan, akan sangat menggores relung hatinya yang paling dalam. Hatinya luka. Ia akan berusaha melawan tuduhan itu, namun justru dengan tindak kenakalannya yang lebih lanjut.
Hendaknya orang tua menyadari bahwa mengingatkan kesalahan anak tidak identik dengan memberikan predikat “nakal” kepadanya. Nakal itu —di telinga siapa pun yang masih waras— senantiasa berkesan negatif. Siapa tahu, anak menjadi nakal justru lantaran diberi predikat “nakal” oleh orang tua atau lingkungannya!
Mengingatkan kesalahan anak hendaknya dengan bijak dan kasih sayang. Bagaimanapun, mereka masih kecil. Sangat mungkin melakukan kesalahan karena ketidaktahuan, atau karena sebab-sebab yang lain. Namun, apa pun bentuk kenakalan anak, biasanya ada penyebab yang bisa dilacak sebagai sebuah bahan evaluasi diri bagi para pendidik dan orang tua.
Banyak kisah tentang anak-anak kecil yang cacat atau meninggal di tangan orang tuanya sendiri. Cara-cara kekerasan yang dipakai untuk menanggulangi kenakalan anak seringkali tidak tepat. Watak anak sebenarnya lemah dan bahkan lembut. Mereka tak suka pada kekerasan. Jika disuruh memilih antara punya bapak yang galak atau yang penyabar lagi penyayang, tentu mereka akan memilih tipe kedua. Artinya, hendaknya orang tua berpikiran “tua” dalam mendidik anak-anaknya, agar tidak salah dalam mengambil langkah.
Sekali lagi, jangan cepat memberi predikat negatif. Hal itu akan membawa dampak psikologis yang traumatik bagi anak. Belum tentu anak yang sulit diatur itu nakal, bisa jadi justru itulah tanda-tanda kecerdasan dan kelebihannya dibandingkan anak lain. Hanya saja, orang tua biasanya tidak sabar dengan kondisi ini.
Ungkapan bijak Dorothy Law Nolte dalam syair Children Learn What They Live berikut bisa dijadikan sebagai bahan perenungan,
Bila anak sering dikritik, ia belajar mengumpat
Bila anak sering dikasari, ia belajar berkelahi
Bila anak sering diejek, ia belajar menjadi pemalu
Bila anak sering dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Bila anak sering dimaklumi, ia belajar menjadi sabar
Bila anak sering disemangati, ia belajar menghargai
Bila anak mendapatkan haknya, ia belajar bertindak adil
Bila anak merasa aman, ia belajar percaya
Bila anak mendapat pengakuan, ia belajar menyukai dirinya
Bila anak diterima dan diakrabi, ia akan menemukan cinta.
Cara Pandang Positif
Hendaknya orang tua selalu memiliki cara pandang positif terhadap anak. Jika anak sulit diatur, maka ia berpikir bahwa anaknya kelebihan energi potensial yang belum tersalurkan. Maka orang tua berusaha untuk memberikan saluran bagi energi potensial anaknya yang melimpah ruah itu, dengan berbagai kegiatan yang positif. Selama ini anaknya belum mendapatkan alternatif kegiatan yang memadai untuk menyalurkan berbagai potensinya.
Dengan cara pandang positif seperti itu, orang tua tidak akan emosional dalam menghadapi ketidaktertiban anak. Orang tua akan cenderung introspeksi dalam dirinya, bukan sekadar menyalahkan anak dan memberikan klaim negatif seperti kata nakal. Orang tua akan lebih lembut dalam berinteraksi dengan anak-anak, dan berusaha untuk mencari jalan keluar terbaik. Bukan dengan kemarahan, bukan dengan kata-kata kasar, bukan dengan pemberian predikat nakal.
“Kamu anak baik dan shalih. Tolong lebih mendengar pesan ibu ya Nak”, ungkapan ini sangat indah dan positif.
“Bapak bangga punya anak kamu. Banyak potensi kamu miliki. Jangan ulangi lagi perbuatanmu ini ya Nak”, ungkap seorang bapak ketika ketahuan anaknya bolos sekolah.
Semoga kita mampu menjadi orang tua yang bijak dalam membimbing, mendidik dan mengarahkan tumbuh kembang anak-anak kita. Hentikan sebutan nakal untuk mendidik anak-anak.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/09/23024/jangan-sebut-anak-anda-nakal/#ixzz27MXULnZj
“Kamu itu memang anak nakal”, kata seorang bapak.

Kalimat itu sering kita dengarkan dalam kehidupan sehari-hari. Sangat sering kita mendengar orang tua menyebut anaknya dengan istilah nakal, padahal kadang maksudnya sekadar mengingatkan anak agar tidak nakal. Namun apabila anak konsisten mendapatkan sebutan nakal, akan berpengaruh pada dirinya.
Predikat-predikat buruk memang cenderung memiliki dampak yang buruk pula. Nakal adalah predikat yang tak diinginkan oleh orang tua, bahkan oleh si anak sendiri. Namun, seringkali lingkungan telah memberikan predikat itu kepada si anak: kamu anak nakal, kamu anak kurang ajar, kamu anak susah diatur, dan sebagainya. Akibatnya, si anak merasa divonis.
Hindari Sebutan Nakal
Jika tuduhan nakal itu diberikan berulang-ulang oleh banyak orang, akan menjadikan anak yakin bahwa ia memang nakal. Bagaimanapun nakalnya si anak, pada mulanya tuduhan itu tidak menyenangkan bagi dirinya. Apalagi, jika sudah sampai menjadi bahan tertawaan, cemoohan, dan ejekan, akan sangat menggores relung hatinya yang paling dalam. Hatinya luka. Ia akan berusaha melawan tuduhan itu, namun justru dengan tindak kenakalannya yang lebih lanjut.
Hendaknya orang tua menyadari bahwa mengingatkan kesalahan anak tidak identik dengan memberikan predikat “nakal” kepadanya. Nakal itu —di telinga siapa pun yang masih waras— senantiasa berkesan negatif. Siapa tahu, anak menjadi nakal justru lantaran diberi predikat “nakal” oleh orang tua atau lingkungannya!
Mengingatkan kesalahan anak hendaknya dengan bijak dan kasih sayang. Bagaimanapun, mereka masih kecil. Sangat mungkin melakukan kesalahan karena ketidaktahuan, atau karena sebab-sebab yang lain. Namun, apa pun bentuk kenakalan anak, biasanya ada penyebab yang bisa dilacak sebagai sebuah bahan evaluasi diri bagi para pendidik dan orang tua.
Banyak kisah tentang anak-anak kecil yang cacat atau meninggal di tangan orang tuanya sendiri. Cara-cara kekerasan yang dipakai untuk menanggulangi kenakalan anak seringkali tidak tepat. Watak anak sebenarnya lemah dan bahkan lembut. Mereka tak suka pada kekerasan. Jika disuruh memilih antara punya bapak yang galak atau yang penyabar lagi penyayang, tentu mereka akan memilih tipe kedua. Artinya, hendaknya orang tua berpikiran “tua” dalam mendidik anak-anaknya, agar tidak salah dalam mengambil langkah.
Sekali lagi, jangan cepat memberi predikat negatif. Hal itu akan membawa dampak psikologis yang traumatik bagi anak. Belum tentu anak yang sulit diatur itu nakal, bisa jadi justru itulah tanda-tanda kecerdasan dan kelebihannya dibandingkan anak lain. Hanya saja, orang tua biasanya tidak sabar dengan kondisi ini.
Ungkapan bijak Dorothy Law Nolte dalam syair Children Learn What They Live berikut bisa dijadikan sebagai bahan perenungan,
Bila anak sering dikritik, ia belajar mengumpat
Bila anak sering dikasari, ia belajar berkelahi
Bila anak sering diejek, ia belajar menjadi pemalu
Bila anak sering dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Bila anak sering dimaklumi, ia belajar menjadi sabar
Bila anak sering disemangati, ia belajar menghargai
Bila anak mendapatkan haknya, ia belajar bertindak adil
Bila anak merasa aman, ia belajar percaya
Bila anak mendapat pengakuan, ia belajar menyukai dirinya
Bila anak diterima dan diakrabi, ia akan menemukan cinta.
Cara Pandang Positif
Hendaknya orang tua selalu memiliki cara pandang positif terhadap anak. Jika anak sulit diatur, maka ia berpikir bahwa anaknya kelebihan energi potensial yang belum tersalurkan. Maka orang tua berusaha untuk memberikan saluran bagi energi potensial anaknya yang melimpah ruah itu, dengan berbagai kegiatan yang positif. Selama ini anaknya belum mendapatkan alternatif kegiatan yang memadai untuk menyalurkan berbagai potensinya.
Dengan cara pandang positif seperti itu, orang tua tidak akan emosional dalam menghadapi ketidaktertiban anak. Orang tua akan cenderung introspeksi dalam dirinya, bukan sekadar menyalahkan anak dan memberikan klaim negatif seperti kata nakal. Orang tua akan lebih lembut dalam berinteraksi dengan anak-anak, dan berusaha untuk mencari jalan keluar terbaik. Bukan dengan kemarahan, bukan dengan kata-kata kasar, bukan dengan pemberian predikat nakal.
“Kamu anak baik dan shalih. Tolong lebih mendengar pesan ibu ya Nak”, ungkapan ini sangat indah dan positif.
“Bapak bangga punya anak kamu. Banyak potensi kamu miliki. Jangan ulangi lagi perbuatanmu ini ya Nak”, ungkap seorang bapak ketika ketahuan anaknya bolos sekolah.
Semoga kita mampu menjadi orang tua yang bijak dalam membimbing, mendidik dan mengarahkan tumbuh kembang anak-anak kita. Hentikan sebutan nakal untuk mendidik anak-anak.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/09/23024/jangan-sebut-anak-anda-nakal/#ixzz27MXULnZj
Senin, 17 September 2012
PENGERTIAN BUDAYA Tokoh pendidikan nasional bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi budaya sebagai berikut: Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu:
1. merupakan produk budidaya manusia,
2. menentukan ciri seseorang,
3. manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
PENGERTIAN KONSELINGKonseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangn dirinya,dan untuk mencapai perkembangan yang optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya ,proses tersebuat dapat terjadi setiap waktu. (Division of Conseling Psychologi). Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketiga hal tersebut. (Berdnard & Fullmer ,1969) Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu:
1. adanya hubungan, 2. adanya dua individu atau lebih, 3. adanya proses, 4. membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.
KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecahbelah secara meningkat pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupunprofesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia abad-21.
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang memberi artinya.
Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel-variabelnya (Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994).
Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam menggunakan pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhankonseling khusus mereka. Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerjadengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.
Tampaknya konsep konseling lintas budaya yang melingkupi dua pendekatan tersebut dapat dipadukan sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabelvariabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37).
Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secarakultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien (Dedi Supriadi, 2001:6).
Maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:
Sumber; http://konselorindonesia.blogspot.com/2010/11/konseling-lintas-budaya_29.html
- latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,
- latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien,
- asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan
- nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
- Nah, dari uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu:
- Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
- Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral
- Memahami bahwa kekuatan susio-politik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
- Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup
- Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Minggu, 16 September 2012

Year Released: 2006
Director: Jack Neo
Writers:Rebecca Leow, Jack Neo
Genre: Drama / Comedy
Country: Singapore
Runtime: 124 Minutes
Quality:CDRIP
Siapa yang salah bila seorang anak mencuri? Siapa yang paling bertanggung jawab apabila seorang anak terlibat kenakalan remaja, berwatak keras, dan bersifat pembangkang? Jangan dulu marahi mereka, karena jangan-jangan semua bersumber dari didikan orangtua.
Nah, itulah pesan dari film yang baru saja saya tonton. Judulnya “I Not Stupid Too” (demikian ejaannya, jangan protes karena grammar-nya salah). Film produksi Singapura ini ternyata sudah dirilis beberapa tahun lalu (2006). Meski jadul, tapi pertama saya tonton, wah wah wah, gak berasa mata jadi sembab huhu. Yap, film ini sukses mengaduk-ngaduk perasaan. Bukan karena kisah cinta tragis ala Titanic, tapi karena film ini sarat pesan moral dan hikmah, khususnya masalah pendidikan. Selain itu, film ini juga diselingi unsur komedi yang pas sehingga emosi jadi terkontrol.
Film besutan sutradara Jack Neo ini konon (setelah saya googling) merupakan lanjutan dari sekuel pertamanya, “I Not Stupid”. Pantas saja, dalam judulnya terselip angka 2 meski dilafalkan “too”. Tapi, saya belum berhasil dapat film pertamanya huhuhu.
Alkisah, film ini menceritakan kehidupan dua keluarga yang penuh dengan masalah. Keluarga pertama adalah keluarga kakak beradik, Jerry (Ashley Leong) yang masih SD dan Tom (Shawn Lee) yang sudah duduk di SMA, meskipun seragamnya kayak anak SMP hehe). Ibunya, Mrs. Yeo (Xiang Yun), seorang editor majalah terkenal. Ayahnya, Mr. Yeo (Jack Neo), seorang pekerja yang super sibuk di sebuah perusahaan. Mereka berasal dari keluarga berada, meski kedua suami istri itu hanya memiliki waktu yang sangat terbatas untuk kedua anak laki-lakinya. Di rumahnya, mereka tinggal bersama neneknya dan seorang pembantu yang parahnya berasal dari INDONESIA (TKW main film hihi) bernama Yati.
Jerry anak yang pintar. Di sekolahnya, ia mendapat nilai tertinggi. Namun, kedua orangtuanya tidak pernah sama sekali memujinya. Ironisnya, mereka malah memarahinya karena nilai Jerry tak pernah lebih baik dari sebelumnya. Lain lagi dengan kakaknya, Tom. Ia hobi ngeblog sampai-sampai ia mendapat penghargaan sebagai blogger terbaik. Eh, lagi-lahi sang Ibu tak menyukainya dan malah memarahinya kalau blogging bukanlah kegiatan berguna.
Keterbatasan komunikasi di antara anak dan orangtua itu membuat kakak-adik itu juga tak akur. Apabila kedua anak itu memiliki keinginan yang hendak dibicarakan pada orangtua, mereka hanya menulis di atas kertas dan menempelkannya di kulkas. Misalnya, ketika Jerry yang terpilih jadi pemeran utama di drama sekolahnya, hendak memberitahukannya pada ibu dan ayahnya. Sayang, kertas itu tertiup angin dan jatuh terinjak.
Keluarga kedua adalah Cheng Chang (Joshua Ang) dan ayahnya, Mr. Lim (Huang Yiliang). Cheng Chang adalah teman baik dan sekelas Tom. Berbeda dengan sahabatnya, ia hidup sederhana—bahkan miskin. Hobinya bela diri dan cita-citanya ingin seperti Jet Li. Sayang, ayahnya marah besar dan melarangnya meniru tokoh kesenangan anaknya itu. Apabila Cheng Chang berbuat salah, ayahnya yang mantan narapidana dan cacat itu memukulinya. Kebiasaan dikasari itu membuat Cheng Chang berani melawan gurunya.
Hingga suatu saat, Tom yang ketahuan membawa film porno dimarahi gurunya dan dibela Cheng Chang. Kekacauan di kelas saat razia handphone itu berujung dengan dihukumnya kedua sahabat itu. Jerry mendapat hukuman pukul dengan rotan, sedangkan Cheng Chang dikeluarkan sekolah karena terlalu sering berbuat ulah. Wah, kebayang kan, betapa murkanya kedua orangtua dari anak tersebut!
Keadaan yang semakin tidak nyaman tersebut membuat kedua anak SMA itu akhirnya berkomplot dengan sebuah genk. Mereka berdua terlibat aksi pencurian yang belakangan diketahui dimotori oleh genk itu sendiri yang hendak memeras Tom yang notabene berasal dari keluarga kaya.
Selain kedua ABG tersebut yang mencuri, ternyata si bocah Jerry juga nekad mencuri uang di kantin sekolahnya. Jerry selama ini susah payah mengumpulkan uang untuk membeli tiket pertunjukan dramanya karena gurunya terus-terus menanyakan kedua orangtuanya yang tak kunjung memastikan, akankah datang atau tidak. Jerry terpaksa mencuri untuk membelikan orangtuanya tiket tersebut.
Wah, kepanjangan deh kalau diceritakan semua. Yang jelas, penonton siap-siap saja berkucuran air mata melihat konflik anak-orangtua tersebut. Apalagi, tragisnya ayah Cheng Chang meninggal dunia setelah menyelamatkan Cheng Chang. Kedua orangtua Jerry pun tak kuasa menahan sesal saat membaca curahan hati Tom di blognya.
Di sisi lain, orangtua berbuat demikian tentu demi kebaikan anaknya. Hanya saja, cara penyampaiannya yang kurang tepat dan kurang pas di hati anak. Ini terbukti saat ayah Cheng Chang yang keras dengan susah payah membeli tas untuk mengganti tas anaknya yang rusak akibat bertengkar. Yah, meskipun tas tersebut adalah tas paling murah dan bergambar kartun yang tentu gak cocok banget buat anak SMA seperti Cheng Chang. Bahkan, saat Cheng Chang dikeluarkan sekolah, ayahnya rela berkeliling Singapura hanya untuk memperjuangkan nasib anaknya.
Yang jelas film ini sangat cocok ditonton untuk para orangtua dan guru. Kenapa guru? Karena di dalamnya tidak hanya mengisahkan konflik anak-orangtua, tapi menggambarkan realita pendidikan di Singapura yang diskriminatif. Salah satu pesannya agar guru lebih bijak menghadapi murid. Ini pun tentu sesuai dengan kondisi pendidikan di tanah air, di saat banyak kasus kekerasan dalam hukuman terhadap murid dan perlakuan tidak adil bagi murid berkemampuan di bawah rata-rata.
silahkan bagi yang mau mendownloadnya buka link di bawah :
Download Link:
CD1
CD2
Subtitle Indonesia
CD1
CD2
Jumat, 14 September 2012
A. Konsep Dasar
Menurut teori ini, kepribadian merupakan suatu system atau factor yang saling berkaitan satu dengan lainnya seperti kecakapan, minat, sikap, dan temperament. Hal yang mendasar bagi konseling sifat dan faktor (triait and faktor) adalah asumsi bahwa individu berusaha untuk menggunakan pemahaman diri dan pengetahuan kecakapan dirinya sebagai dasar bagi pengembangan potensinya. Pencapaian penemuan diri menghasilkan kepuasan intrinsik dan memperkuat usaha untuk mewujudkan diri. (Surya, Mohamad. 2003 : 3)
Dalam Pendekatan Trait and Factor, memandang bahwa ada delapan dangan tentang manusia yang bisa disimpulkan dari pendapat Williamson (Lutfi Fauzan, 2004:79) yaitu sebagai berikut:
- Manusia dilahirkan dengan membawa potensi baik dan buruk.
2. Manusia bergantung dan hanya akan berkembang secara optimal ditengah-tengah masyarakat.
Manusia memerlukan orang lain dalam mengembangkan potensi dirinya. Aktualisasi diri hanya akan dapat dicapai dalam hubungannya dan atau dengan bantuan orang lain, manusia tidak dapat hidup sepenuhnya dengan melepaskan diri dari masyarakat.
3. Manusia ingin mencapai kehidupan yang baik (good live)
Memperoleh kehidupan yang baik dan lebih baik lagi merupakan kepedulian setiap orang. Salah satu dimensi kebaikan adalah “arête”. Manusia berjuang mencapai arête yang menghasilkan kekayaan atau kebesaran diri. Konsep arête diambil dari bahasa Yunani yang dapat diartikan kecemerlangan (axcelent)
4. Manusia banyak berhadapan dengan “pengintroduksi” konsep hidup yang baik, yang menghadapkannya pada pilihan-pilihan.
Dalam keluarga, individu berkenalan dengan konsep hidup yang baik dari orang tuanya. Disekolah dia memperolehnya dari guru, selain itu dari teman dan anggota masyarakat yang lain.
5. Hubungan manusia berkait dengan konsep alam semesta (The Universe), Williamson menyatakan bahwa konsep alam semesta dan hubungan manusia terhadapnya sering terjadi salah satu dari: 1. Manusia menyendiri, ketidakramahan alam semesta. 2. Alam semesta bersahabat dan menyenangkan atau menguntungkan bagi manusia dan perkembangannya.
Selain konsepsi pokok tentang manusia sebaimana dikemukakan Williamson, terdapat cakupan penting untuk dikemukakan karakteristik atau hakiki yang lain tentang manusia, yaitu:
- Manusia merupakan individu yang unik.
- Manusia memiliki sifat-sifat yang umum.
- Manusia bukan penerima pasif bawaan dan lingkungannya.
Asumsi perilaku bermasalah / malasuai adalah individu yang tidak mampu memahami kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya sehingga individu tersebut tidak dapat mengaktualisasikan dirinya secara optimal. (Gudnanto. 2012. FKIP UMK).
PRIBADI SEHAT menurut (Fauzan, Lutfi dan Suliono 1991 / 1992 Konseling Individu Trait and Factor DEPDIKBUD Malang) :
- Mampu berfikir rasional untuk memecahkan masalah secara bijaksana
- Memahami kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri
- Mampu mengembangkan segala potensi secara penuh
- Memiliki motivasi untuk meningkatkan/ menyempurnakan diri
- Dapat menyesuaikan diri di masyarakat
- Depcelence (ketergantungan)
- Lach of information (kurang informasi)
- Self conflict (konflik diri)
- Chose anxicty (cemas memilih)
- No Problem (bukan permasalah selain diatas)
- Lack of assurance (kurang percaya diri)
- Lack of skill (kurang keterampilan)
- Depcelence (ketergantungan)
- Lach of information (kurang informasi)
- Self conflict (konflik diri)
- Chose anxicty (cemas memilih)
Pengertian Pendekatan Trait and Factor
Yang dimaksud dengan trait adalah suatu ciri yang khas bagi seseorang dalam berpikir, berperasaan, dan berprilaku, seperti intelegensi (berpikir), iba hati (berperasaan), dan agresif (berprilaku). Ciri itu dianggap sebagai suatu dimensi kepribadian, yang masing-masing membentuk suatu kontinum atau skala yang terentang dari sangat tinggi sampai sangat rendah.
Teori Trait-Factor adalah pandangan yang mengatakan bahwa kepribadian seseorang dapat dilukiskan dengan mengidentifikasikan jumlah ciri, sejauh tampak dari hasil testing psikologis yang mengukur masing-masing dimensi kepribadian itu. Konseling Trait-Factor berpegang pada pandangan yang sama dan menggunakan tes-tes psikologis untuk menanalisis atau mendiagnosis seseorang mengenai ciri-ciri dimensi/aspek kepribadian tertentu, yang diketahui mempunyai relevansi terhadap keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam jabatan dan mengikuti suatu program studi.
Dan juga Istilah konseling trait-factor dapat dideskripsikan adalah corak konseling yang menekankan pemahaman diri melalui testing psikologis dan penerapan pemahaman itu dalam memecahkan beraneka problem yang dihadapi, terutama yang menyangkut pilihan program studi/bidang pekerjaan.
- Tujuan Pendekatan Trait and Factor
- Self-clarification (kejelasan diri)
- Self-understanding (pemahaman diri)
- Self-accelptance (penerimaan diri)
- Self-direction (pengarahan diri)
- Self-actualization (perwujudan diri)
Tahap-Tahap Konseling
Konseling Trait and Factor memiliki enam tahap dalam prosesnya, yaitu: analisis, sistesis,, diagnosis, prognosis, konseling (treatment) dan follow-up (Lutfi Fauzan, 2004:92)
- Analisis
Data yang dikumpulkan diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
1. Data Vertikal (mencakup diri klien) yang dapat dibagi lebih lanjut atas:
- Data Fisik: kesehatan, cirri-ciri fisik, penampakan atau penampilan fisik dsb.
- Data Psikis: bakat, minat, sikap, cita-cita, hobi, kebiasaan dsb.
2. Sintesis
Sintesis adalah usaha merangkum, mengolong-golongkan dan menghubungkan data yang telah terkumpul pada tahap analisis, yang disusun sedemikian sehingga dapat menunjukkan keseluruhan gambaran tentang diri klien. Rumusan diri klien dalam sistesis ini bersifat ringkas dan padat. Ada tiga cara yang dapat dilakukan dalam merangkum data pada tahap sistesis tersebut: cara pertama dibuat oleh konselor, kedua dilakukan klien, ketiga adalah cara kolaborasi.
3. Diagnosis
Diagnosis merupakan tahap menginterpretasikan data dalam bentuk (dari sudut) problema yang ditunjukkan. Rumusan diagnosis dilakukan melalui proses pengambilan atau penarikan simpulan yang logis.
Dalam tahap ini terdapat tiga kegiatan yang dilakukan, yaitu :
- Identiffikasi masalah, Berdasar pada data yang diperoleh, dapat merumuskan dan menarik kesimpulan permasalahan klien.
- Etiologi (Merumuskan sumber-sumber penyebab masalah internal dan eksternal). Dilakukan dengan cara mencari hubungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Menurut Williamson prognosis ini bersangkutan dengan upaya memprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi berdasarkan data yang ada sekarang. Misalnya: bila seorang klien berdasarkan data sekarang dia malas, maka kemungkinan nilainya akan rendah, jika intelegensinya rendah, kemungkinan nanti tdak dapat diterima dalam sipenmaru.
5. Konseling (Treatment)
Dalam konseling, konselor membantu klien untuk menemukan sumber-sumber pada dirinya sendiri, sumber-sumber lembaga dalam masyarakat guna membantu klien dalam penyesuaian yang optimum sejauh dia bisa. Bantuan dalam konseling ini mencakup lima jenis bantuan yaitu:
- Hubungan konseling yang mengacu pada belajar yang terbimbing kearah pemahaman diri.
- Konseling jenis edukasi atau belajar kembali yang individu butuhkan sebagai alat untuk mencapai penyesuaian hidup dan tujuan personalnya.
- Konseling dalam bentuk bantuan yang dipersonalisasikan untuk klien dalam memahami dan trampil untuk mngaplikasikan pinsip dan teknik-teknik dalam kehidupan sehari-hari.
- Konseling yang mencakup bimbingan dan teknik yang mempunyai pengaruh terapiutik atau kuratif.
- Konseling bentuk redukasi bagi diperolehnya kataris secara terapiutik.
Tindak lanjut merujuk pada segala kegiatan membantu siswa setela mereka memperoleh layanan konseling, tetapi kemudian menemui masalah-masalah baru atau munculnya masalah yang lampau. Tindak lanjut ini juga mencakup penentuan keefektifan konseling yang telah dilaksanakan.
Stategi Implementasi
Sebagai pedoman dalam mengimlementasikan pemecahan masalah, Williamson mengemukakan 5 macam stategi atau teknik umum, dalam (Fauzan. Lutfi. 2004. 95) yaitu:
- Forcing Conformity (memaksa penyesuaian), dipilih apabila lingkungan memang tidak dapat diubah. Seperti: siswa harus mau mengikuti atau menerima pelajaran dari guru matematika yang judes yang sebenarnya tidak disenangi siswa.
- Changing the environment (mengubah lingkungan), dipilih bila memang tidak memungkinkan, klien memiliki kekuatan atau kemampuan melakukannya. Lingkungan ini mencakup apa dan siapa. Contoh: ruang belajar yang semula menghadap jendela dan jalan raya dibalik menjadi membelakangi, tidak dapat konsentrasi belajar karena tiap belajar ada anak ramai diluar, maka anak-anak itu disuruh pindah atau diusir.
- Selecting the appropriate environment (memilih lingkungan yang cocok), contoh: ada beberapa tempat belajat yang dapat dimanfaatkan yaitu, di perpustakaan, di rumah sendiri, dan di rumah teman.
- Learning neded skills (belajar keterampilan-keterampilan yang diperlukan), contoh: belajar keterampilan bergaul, membuat paper, dan sebagainya.
- Changing attitute (mengubah sikap), sikap merupakan kecenderungan seseorang dalam menanggapi sesuatu, dan arahnya juga pada siapa dan pada apa. Beberapa sikap diri perlu diubah kalau memang tidak menguntungkan, misalnya: sikap segan untuk bertanya.
Situasi hubungan dalam konseling Trait and Factor (Lutfi Fauzan, 2004 : 88) sebagai berikut:
- Konseling merupakan suatu thinking relationship yang lebih mementingkan peranan berfikir rasional, tetapi tidak meninggalkan sama sekali aspek emosional seseorang.
- Konseling berlangsung dalam situasi hubungan kyang bersifat pribadi, bersahabat, akrab, dan empatik
- Konseling yang berlangsung dapat bersifat remediatif maupun developmental
- Setiap pihak (konselor-klien) melakukan perannya secara proporsional.
Model penampilan konselor (Lutfi Fauzan, 2004:88), terbagi menjadi:
Sikap konselor
- Dapat menempatkan diri sebagai seorang guru
- Menerima sebagian tanggung jawab atas keselamatan klien
- Bersedia mengarahkan klien kearah yang lebih baik
- Tidak netral, sepenuhnya terhadap nilai (value)
- Yakin terhadap asumsi-asumsi konseling yang efektif.
- Memiliki pengalaman, keahlian dalam teori perkembangan manusia dan pemecahan masalah
- Dapat memanfaatkan teknik-teknik pemecahan individu baik teknik testing maupun teknik non testing
- Dapat melaksanakan proses konseling secara fleksibel
- Dapat menerapkan strategi pengubahan tingkah laku beserta teknik-tekniknya
- Menjalankan peranan utamanya secara terpadu
Model analisis
Model analisis dalam konseling Trait and Factor (Lutfi Fauzan, 2004:92) dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat seperti : catatan kumulatif, wawancara, catatan anekdot, tes psikologis, dan sebagainya. Selain itu juga study kasus. Dalam study kasus juga dapat digunakan sebagai analisis maupun metode untuk memadukan semua data yang terdiri dari catatan komprehensif yang mencakup keluarga, perkembangan kesehatan, pendidikan dan pekerjaan, serta minat dan kebiasaan-kebiasaan lain.
G. Model Diagnosis
Model diagnosis dalam konseling Trait and Factor (Surya , Mohamad. 2003 : 6) merupakan tahap pertama menginterprtrasikan data melalui proses penarikan kesimpulan permasalahan dari klien secara logis berupa identifikasi masalah. Dalam identifikasi masalah ada dua kaegori yang sifatnya deskriptif menurut Bordin dan Pepinsky yaitu:
Kategori diagnostik dari Bordin ialah :
- Dependence (ketergantungan)
- Lack of Information (kurangnya informasi)
- Self – Conflict (konflik diri)
- Choice – anxiety (kecemasan dalam membuat pilihan)
- Lack of Assurance (kurang dukungan)
- Lack of Information (kurangnya informasi)
- Lack of Skill (memiliki keterampilan)
- Dependence (ketergantungan)
- Self – Conflict (konflik diri)
Peranan yang dapat dan seharusnya dilakukan oleh seorang konselor Trait and Factor (Surya, Mohamad. 2003 : 5) adalah sebagai berikut :
- Konselor memberitahu kepada klien tentang berbagai kemampuan yang diperoleh melalui penyelenggaraan testing psikologis, angket dan alat ukur lainnya.
- Konselor memberitahukan tentang bidang-bidang yang cocok sesuai dengan kemampuan serta karakteristiknya.
- Konselor secara aktif mempengaruhi perkembangan klien.
- Konselor membantu klien mencari atau menemukan sebab-sebab kesulitan atau gangguannya dengan diagnosis eksternal.
- Secara esensial peranan konselor adalah seperti guru, dimana “memberi informasi” dan “mengarahkan secara efektif”.
Teknik – teknik konseling yang dikemukakan Wiliamson (Lutfi Fauzan, 2004 : 96) ada lima macam yaitu sebagai berikut:
- Establishing rapport (menciptakan hubungan baru)
Ada beberapa hal yang terpenting, dan terkait dengan keperluan penciptaan rapport tersebut:
- Reputasi konselor, khususnya reputasi dan kompetensi (competency repulation), konselor harus memiliki nama baik dimata siswa.
- Penghargaan dan perhatian konselor kepada individu.
- Kemampuan konselor dalam menyimpan rahasia (confidentiality) termasuk kerahasiaan hasil-hasil konseling atas siswa-siswa terdahulu.
Untuk memenuhi maksud di atas, maka dalam prosesnya konselor dapat melakukan tindakan-tindakan yang membuat siswa merasa aman dan dihargai sejak penyambutan. Oleh karena itu, konselor perlu: menyebut nama siswa begitu ia muncul, menjabat tangan, menghindarkan kesan segan, menolak atau tidak sabar dan muka cemberut, mempesilahkan duduk, dan mengawali pembicaraan dengan topic-topik netral.
2. Cultivatingself-understanding (mempertajam pemahaman diri)
Konselor perlu berusaha agar klien atau siswa lebih mampu memahami dirinya yang mencakup segala kelebihan maupun kekurangannya, dan dibantu untuk menggunakan kekuatan dan mengatasi kekurangannya. Untuk itu, dapat dimengerti kalau misalnya onselor dituntut untuk menginterprestasikan data klien, termasuk data hasil testing.
3. Advising or planning a program of action (membari nasehat atau membantu merencanakan program tindakan)
Dalam melaksanakan hal ini, konselor memulai dari apa yang menjadi pilihan klien, tujuannya, pandangannya, dan sikapnya: kemudian mengemukakan alternasi-alternasi untuk dibahas segi-segi positif dan negatifnya, manfaat dan kerugiannya. Oleh karena itu, klien perlu didorong untuk menyampaikan ide-idenya sendiri untuk dipertimbangkan, dan konselor memberikan saran-saran pengambilan keputusan dan pelaksanaannya.
Ada tiga cara dalam memberikan nasehat, yaitu:
- Direct advice (nasehat langsung), secar jelas dan terbuka konselor mengemukakan pendapatnya. Cara ini dilakukan bila klien memang tidak mengetahui langsung apa yang harus diperbuat atau diinginkan.
- Persuasive, dilakukan bila klien telah mampu menunjukkan alas an yang logis atas pilihan-pilihannya, tetapi belum mampu menentukan pilihan.
- Explanatory (penjelasan), dilakukan apabila klien telah dapat mengajukan pilihannya termasuk pertimbangan baik buruknya. Konselor memberikn nasehat dengan menjelaskan implikasi-implikasi putusan klien.
4. Carrying out the plan (melaksanakan rencana)
Mengikuti pilihan atau keputusan klien, konselor dapat memberikan bantuan langsung bagi implementasi atau pelaksanaannya. Bantuannya, antara lain berupa rencana atau program pendidikan dan pelatihan atau usaha-usaha perbaikan lainnya yang lebih dapat menyempurnakan keberhasilan tindakan. Contoh/; apabila dalam keputusannya, klien akan menemui gurunya, maka klien diajak mendiskusikan kapan hal itu dilakukan, dimana, dengan cara apa, dengan siapa dan sebagainya.
5. Refferal (pengiriman pada ahli lain)
Pada kenyataannya tidak ada konselor yang ahli dalam memecahkan segala permasalahan siswa, yang karena itu konselor perlu menyadari keterbatasan dirinya. Apabila konselor tidak mampu, janganlah memaksakan diri atau berbuat coba-coba. Konselor perlu mengirimkan kliennya pada ahli lain yang lebih mampu.
J. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan dan kekurang teori trait and factor (Gudnanto. 2012. FKIP UMK), yaitu:
- Kelebihan Teori Trait and Factor, yaitu:
- Pemusatan pada klien dan bukan pada konselor
- Identifikasi dan hubungan konseli sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian
- Lebih menekankan pada sikap konselor daripada teknik
- Memberikan kemungkinan untuk melakukan penelitian dan penemuan kuanitatif
- Penekanan emosi, perasaan dan afektif dalam konseling
- Kelemahan Teori Trait and Factor, yaitu:
- Konseling terpusat pada pribadi dan dianggap sederhana
- Terlalu menekankan aspek afektif emosional, perasaan sebagai penentu perilaku tetapi melupakan factor intelektual, kognitif dan rasional
- Penggunaan informasi untuk membantu klien tidak sesuai dengan teori
- Tujuan untuk sikap klien yaitu memaksimalkan diri dirasa terlalu luas dan umum sehingga sulit menilai individu
- Sulit bagi konselor untuk bersikap netral dalam situasi hubungan interpersonal.
Paijo adalah siswa kelas X SMA di sebuah kota kecil. Dia merasa tidak diperhatikan lagi oleh kedua orang tuanya. Ayah ibunya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Kemudian dia mencari pelarian dengan clubbing yang otomatis minuman keras dan narkoba sudah menjadi hal biasa. Dia sendiri merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut, tapi sulit baginya untuk lepas dari kebiasaannya itu, karena menurut pendapatnya dengan seperti itu dia akan mendapatkan banyak teman dan tidak kesepian lagi. Akhirnya dia semakin tidak nyaman dan datang ke konselor untuk meminta bantuan. Dalam kasus ini, konselor menggunakan pendekatan konseling Trait and Factor.
Daftar Psutaka
Fauzan, Lutfi. 2004. Pendekatan-Pendekatan Konseling Individual. Malang : Elang Mas
Fauzan, Lutfi dan Suliono. 1991/1992. Konseling Individu Trait and Factor. DEPDIKBUD : Malang
Surya, Mohamad. 2003. Teori-Toeri Konseling. Bandung : CV. Pustaka Bani Quraisy
Gudnanto. 2012. Ringkasan Materi Pendekatan Konseling. UMK : FKIP
http://spupe07.wordpress.com/2009/12/24/teori-konseling-trait-and-factor-rational-emotive-therapy/. Diunduh pada tanggal 5 maret 2012 jam 10.10
PROSES KONSELING TRAIT-FACTOR
PROSES KONSELING TRAIT-FACTOR
(Dengan Alternatif Contoh Kata-kata Kunci)
Oleh: Prof. Dr. Soeharto, M.Pd.
A. PENDAHULUAN1. Menyambut kehadiran klien
Konselor :Selamat siang mas…/mbak.. (kalau sudah tahu namanya). Silahkan masuk. Silahkan duduk.
Atau
Selamat siang. Silahkan masuk. Silahkan duduk.
Kalau saya memanggil, mas/mbak siapa ya?
Klien: … … ….
Konselor: Ada masalah…sehingga mas…/mbak…… menemui saya?
Klien: … … ….
Konselor: Baiklah
2. Menciptakan hubungan yang baikKonselor: Kita di sini akan bincang-bincang yang berkaitan dengan masalah kalian. Tentu saja tujuannya agar masalah kalian teratasi. Bagaimana….setuju kan?
Klien:… … ….
Konselor: Baiklah. Untuk itu saya perlu memahami masalah kalian, dan untuk itu pula saya minta kalian memberikan keterangan-keterangan yang saya perlukan. Tidak keberatan kan? Tentu saja saya akan menjaga kerahasiaannya, baik sekarang maupun kapan saja. Bagaimana? Bisa dimulai?
Klien: … … ….
3. Mendengarkan keluhan klien
Konselor:Coba sekarang ceritakan kepada saya apa saja yang mas…/mbak… pikirkan atau rasakan tidak enak. Ceritakan seluruhnya apa adanya. Sekali lagi, percayalah…. Pasti saya jamin tidak aka nada orang tahu kecuali saya.
Klien: … … …. (Klien mengungkapkannya)
Konselor: O…begitu. Ya ya ya. Apa lagi…? (Dan seterusnya….)
4. Mempersetujukan tujuan
Konselor:Sesuai keterangan-keterangan yang telah kalian sampaikan, benar bahwa hal itu adalah masalah yang harus diatas. Kalian ingin lepas dari cengkraman masalah itu kan? Kalian ingin senang dan tenang seperti kemarin… Bagaimana… setuju begitu?
Klien: … … ….
B. INTI
5. Mengumpulkan informasi
Konselor: Tadi mas…/mbak…mengatakan…… Dan juga mengatakan….. Dapat dijelaskan lebih banyak lagi? (Dst. sampai diperoleh informasi yang lengkap)
Klien: … … ….
6. Memadukan berbagai informasi
Konselor:Dari keterangan-keterangan kalian, yang kalian hadapi saat ini adalah …….. Di samping itu adalah ….. Juga ….. bagaimana… benar begitu?
Klien: … …. …..
7. Merumuskan/menetapkan masalah dan penyebabnya
Konselor: Baiklah… Sekarang sudah sama-sama dapat kita ketahui bahwa kalian menjadi begini ini… (Katakan sesuai keluhannya) adalah karena….. Ya inilah masalahnya. Bagaimana… benar begitu?
Klien: … … …..
Konselor: Memang wajar kalau jadinya kalian jadi seperti ini. Makanya perlu dicari pemecahannya.
8. Mencari beberapa kemungkinan jalan keluar
Konselor: Mas…/mbak…. Mari kita pikirkan bersama bagaimana caranya agar mas…/mbak…. dapat keluar dari pikiran dan perasaan yang terganggu ini.
Coba, menurut mas…/mbak… apa? Katakan saja… salah tidak apa-apa.
Klien: … …. ….
Konselor: baik.. Itu bagus… Apa lagi…?
Klien: … … ….
Konselor: Baik. Ada cara lain lagi. (pendapat konselor..katakan kepada klien). Bagaimana? Baiklah. Jadi, supaya mas…/mbak… bisa bahagia lagi, perlu melakukan beberapa pilihan cara. Apa itu mas…/mbak….? (Mintalah klien untuk menyebutkan….)
9. Memilih jalan keluar yang paling tepat
Konselor: Dari beberapa cara itu mungkin ada yang paling efektif atau paling jitu untuk dilakukan. Yang mana? Baik. Saya sependapat dengan pilihan kalian. (Kalau memang itu paling tepat.. Kalau pilihan itu bukan yang paling tepat, kemukakan pilihan konselor)
10. Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
Konselor: Sekarang menurut mas…/mbak… bagaimana rencananya untuk melaksanakan cara yang dipilih tadi? (Biarkan klien mengatakan dulu rencananya… dan kalau tidak tahu, konselor menerangkan rencana melaksanakannya)
11. Memberi pertolongan menuju jalan keluar (treatment) untuk dilakukan di dalam dan diluar proses konseling
Konselor: Ya… sesuai rencana itu, mas…/mbak… perlu….dan…dan….dst. (katakan atau kemukakan saran atau pendapat atau anjuran konselor)
Klien: …. …. ….
12. Mengevaluasi hasil pemberian pertolongan dan melakukan tindak lanjutnya
Konselor: Bagaimana perasaan kalian sekarang? Dan kira-kira bagaimana diri kalian ada perubahan apa tidak kalau saran-saran saya telah dapat dilaksanakan semua nanti? Memang semua tadi harus dilaksanakan agar yang kalian inginkan dapat terwujud.
C. PENUTUP
13. Membuat kesimpulan
Konselor: Kita sudah membicarakan banyak hal, yaitu…………, ………….., ……………. Mas…/mbak…. Akan melakukan……………., ……………, ……………… (ajaklah klien untuk menyebutkan/mengatakan).
14. Menutup pertemuan
Konselor: (Menyambung penyampaian kesimpulan tawarkan kepada klien dan doronglah untuk berinisiatif mengakhiri, dengan kata-kata: Bagaimana … perjumpaan kita kali ini diteruskan apa dapat dilanjutkan pada kesempatan lain ?
Klien: ……………. (biasanya klien setuju diakhiri)
KONSEP DASAR BIMBINGAN DAN KONSELING KELOMPOK
KONSEP DASAR
BIMBINGAN DAN KONSELING KELOMPOK
A.Pengertian Kelompok
Berkumpulnya sejumlah orang dapat membentuk suatu kerumunan, yaitu kalau berkumpulnya orang-orang itu disebabkan karena adanya suatu kejadian atau objek yang menarik perhatian mereka sedangkan diantara orang-orang itu tidak ada saling kaitan sama sekali. Lebih jauh, kerumunan dapat membentuk kelompok, yaitu kalau terhadap orang-orang berkumpul itu berlaku hubungan atau kaitan tertentu antarorang tersebut. Kerumunan dapat menjadi kelompok, yaitu kalau unsure-unsur hubungan antara orang-orang yang ada didalamnya.
Prayitno (1995:11) mengemukakan bahwa kelompok pada dasarnya didukung dan terbentuk melalui berkumpulnya sejumlah orang. Kumpulan-kumpulan orang tersebut kemudian menjunjung suatu atau beberapa kualitas tertentu, sehingga dengan demikian kumpulan tersebut menjadi sebuah kelompok.
Kelompok merupakan unit sosial yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling berinteraksi secara intensif sehingga terdapat pembagian tugas dalam bentuk struktur kelompok. Kelompok ini dapat berupa organisasi yang terdiri dari beberapa individu yang tergantung oleh ikatan yang disetujui oleh semua anggota.
Kelompok harus semua ciri-ciri sebagai berikut :
•Adanya interaksi secara fisik, non-verbal, emosional, dan sebagainya.
•Mempunyai tujuan (goals) yang dapat bersifat intrinsik maupun ekstrinsik.
•Struktur yang terdiri dari peran (role), norma, dan hubungan antar anggota.
•Groupness, yaitu suatu entity (kesatuan) antara para anggotanya.
Jadi, secara ringkas kelompok yang baik adalah kelompok yang mempunyai struktur dalam berinteraksi yang berdasarkan norma-norma dalam mencapai satu tujuan bersama.
Kelompok secara umum dibagi menjadi :
Kelompok primer, yaitu kelompok yang mempunyai interaksi sosial yang cukup intensif, cukup akrab, hubungan antara anggota satu dengan anggota lain cukup baik.
Kelompok sekunder merupakan kelompok yang mempunyai interaksi yang kurang mendalam bila dibandingkan dengan kelompok primer dan sifatnya tidak begitu langgeng.
Selain itu, kelompok juga bisa dibedakan menjadi :
1.Kelompok resmi (formal) yang norma-normanya dinyatakan secara tertulis.
2.Kelompok tidak resmi (informal) yang norma-normanya tidak dinyatakan secara resmi.
B.Faktor Pengikat dalam Kelompok
Dalam suasana kebersamaan dan didorong oleh kepentingan bersama dalam kelompok, seorang pemimpin biasanya diperlukan, dan biasanya memang muncul. Kumpulan orang-orang atau kerumunan dapat berubah menjadi kelompok apabila didalamnya muncul dan berkembang faktor-faktor pengikat sebagai berikut :
1.Interaksi antara orang-orang yang ada didalam kumpulan atau kerumunan itu
2.Ikatan emosional sebagai pernyataan kebersamaan
3.Tujuan atau kepentingan bersama yang ingin dicapai
4.Kepemimpinan yang dipatuhi dalam rangka mencapai tujuan atau kepentingan bersama
5.Norma yang diakui dan diikuti oleh mereka yang terlibat didalamnya.
Kemantapan atau kekompakan suatu kelompok ditentukan oleh kekuatan faktor-faktor pengikat tersebut. Surutnya salah satu atau beberapa atau bahkan semua faktor pengikat itu akan menurunkan derajat kemantapan kelompok itu sehingga kelompok itu menjadi sekedar kerumunan atau sekedar kumpulan orang-orang atau bahkan bubar sama sekali.
C.Pengertian Bimbingan Kelompok dan Konseling Kelompok
Menurut Prayitno (1997:36), bimbingan kelompok adalah :
“layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh berbagai bahan dari narasumber tertentu (terutama dari Guru Pembimbing) yang berguna untuk menunjang pemahaman dan kehidupannya sehari-hari dan/atau untuk perkembangan dirinya sebagai individu maupun sebagai pelajar, dan untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan tertentu.”
Selain bimbingan kelompok, Prayitno (1997:37) juga menjelaskan mengenai konseling kelompok, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok; masalah yang dibahas itu adalah masalah pribadi yang dialami masing-masing anggota kelompok.
D.Tujuan Bimbingan Kelompok dan Konseling Kelompok
Prayitno (1997:78) mengemukakan tujuan bimbingan kelompok adalah untuk memungkinkan siswa secara bersama memperoleh berbagai bahan dari narasumber yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari baik sebagai individu maupun sebagai pelajar, anggota keluarga, dan masyarakat. Selain itu, melalui layanan bimbingan kelompok para siswa dapat diajak untuk bersama-sama mengemukakan pendapat tentang sesuatu dan membicarakan topik-topik penting, mengembangkan nilai-nilai tentang hal itu, dan mengembangkan langkah-langkah bersama untuk menangani permasalahan yang dibahas di dalam kelompok. Menurut Hallen (2005:81) fungsi utama bimbingan dan konseling yang didukung oleh layanan bimbingan kelompok ini adalah fungsi pemahaman dan pengembangan.
Tujuan konseling kelompok menurut Prayitno (1997:80) adalah untuk memungkinkan siswa memperoleh kesempatan bagi pembahasan dan pengentasan masalah yang dialami melalui dinamika kelompok. Kemudian Hallen (2005:82) menyatakan bahwa fungsi utama yang didukung oleh layanan konseling kelompok adalah fungsi pengentasan.
E.Permainan Pengakraban
Salah satu permainan pengakraban yang dapat dilaksanakan dalam bimbingan dan/atau konseling kelompok diselenggarakan adalah rangkaian nama. Permainan ini berintikan penggabungan atau perangkaian nama dari semua nggota kelompok, termasuk pembimbing kelompok.
Permainan rangkaian nama dilaksanakan pada awal kegiatan kelompok, yaitu pada tahap pembentukan. Hal ini dilakukan agar semua peserta mengenal dan hafal nama semua anggota kelompok, dan dengan demikian akan meningkatkan keakraban dan kebersamaan antar sesama anggota kelompok. Setiap anggota kelompok (termasuk Guru Pembimbing) berusaha mengenal dan menyebutkan dengan benar nama-nama semua anggota kelompok; dengan demikian semua anggota akan merasa diakui oleh anggota lainnya.
Permainan rangkaian nama ini menuntut pemusatan perhatian dan dapat membawa suasana yang menggembirakan, sehingga suasana kelompok menjadi lebih hangat dan menyenangkan. Permainan ini amat efektif untuk para anggota kelompok yang baru pertama kali bertemu.
SUMBER BACAAN
Hallen, A. 2005. Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Quantum Teaching
Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok (Dasar dan Frofil). Jakarta : Ghalia Indonesia
Prayitno. 1997. Pelayanan Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jakarta : PT Ikrar Mandiriabadi
Prayitno. 2004. Layanan L.1 – L.9. Padang : BK FIP UNP
BIMBINGAN DAN KONSELING KELOMPOK
A.Pengertian Kelompok
Berkumpulnya sejumlah orang dapat membentuk suatu kerumunan, yaitu kalau berkumpulnya orang-orang itu disebabkan karena adanya suatu kejadian atau objek yang menarik perhatian mereka sedangkan diantara orang-orang itu tidak ada saling kaitan sama sekali. Lebih jauh, kerumunan dapat membentuk kelompok, yaitu kalau terhadap orang-orang berkumpul itu berlaku hubungan atau kaitan tertentu antarorang tersebut. Kerumunan dapat menjadi kelompok, yaitu kalau unsure-unsur hubungan antara orang-orang yang ada didalamnya.
Prayitno (1995:11) mengemukakan bahwa kelompok pada dasarnya didukung dan terbentuk melalui berkumpulnya sejumlah orang. Kumpulan-kumpulan orang tersebut kemudian menjunjung suatu atau beberapa kualitas tertentu, sehingga dengan demikian kumpulan tersebut menjadi sebuah kelompok.
Kelompok merupakan unit sosial yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling berinteraksi secara intensif sehingga terdapat pembagian tugas dalam bentuk struktur kelompok. Kelompok ini dapat berupa organisasi yang terdiri dari beberapa individu yang tergantung oleh ikatan yang disetujui oleh semua anggota.
Kelompok harus semua ciri-ciri sebagai berikut :
•Adanya interaksi secara fisik, non-verbal, emosional, dan sebagainya.
•Mempunyai tujuan (goals) yang dapat bersifat intrinsik maupun ekstrinsik.
•Struktur yang terdiri dari peran (role), norma, dan hubungan antar anggota.
•Groupness, yaitu suatu entity (kesatuan) antara para anggotanya.
Jadi, secara ringkas kelompok yang baik adalah kelompok yang mempunyai struktur dalam berinteraksi yang berdasarkan norma-norma dalam mencapai satu tujuan bersama.
Kelompok secara umum dibagi menjadi :
Kelompok primer, yaitu kelompok yang mempunyai interaksi sosial yang cukup intensif, cukup akrab, hubungan antara anggota satu dengan anggota lain cukup baik.
Kelompok sekunder merupakan kelompok yang mempunyai interaksi yang kurang mendalam bila dibandingkan dengan kelompok primer dan sifatnya tidak begitu langgeng.
Selain itu, kelompok juga bisa dibedakan menjadi :
1.Kelompok resmi (formal) yang norma-normanya dinyatakan secara tertulis.
2.Kelompok tidak resmi (informal) yang norma-normanya tidak dinyatakan secara resmi.
B.Faktor Pengikat dalam Kelompok
Dalam suasana kebersamaan dan didorong oleh kepentingan bersama dalam kelompok, seorang pemimpin biasanya diperlukan, dan biasanya memang muncul. Kumpulan orang-orang atau kerumunan dapat berubah menjadi kelompok apabila didalamnya muncul dan berkembang faktor-faktor pengikat sebagai berikut :
1.Interaksi antara orang-orang yang ada didalam kumpulan atau kerumunan itu
2.Ikatan emosional sebagai pernyataan kebersamaan
3.Tujuan atau kepentingan bersama yang ingin dicapai
4.Kepemimpinan yang dipatuhi dalam rangka mencapai tujuan atau kepentingan bersama
5.Norma yang diakui dan diikuti oleh mereka yang terlibat didalamnya.
Kemantapan atau kekompakan suatu kelompok ditentukan oleh kekuatan faktor-faktor pengikat tersebut. Surutnya salah satu atau beberapa atau bahkan semua faktor pengikat itu akan menurunkan derajat kemantapan kelompok itu sehingga kelompok itu menjadi sekedar kerumunan atau sekedar kumpulan orang-orang atau bahkan bubar sama sekali.
C.Pengertian Bimbingan Kelompok dan Konseling Kelompok
Menurut Prayitno (1997:36), bimbingan kelompok adalah :
“layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh berbagai bahan dari narasumber tertentu (terutama dari Guru Pembimbing) yang berguna untuk menunjang pemahaman dan kehidupannya sehari-hari dan/atau untuk perkembangan dirinya sebagai individu maupun sebagai pelajar, dan untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan tertentu.”
Selain bimbingan kelompok, Prayitno (1997:37) juga menjelaskan mengenai konseling kelompok, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok; masalah yang dibahas itu adalah masalah pribadi yang dialami masing-masing anggota kelompok.
D.Tujuan Bimbingan Kelompok dan Konseling Kelompok
Prayitno (1997:78) mengemukakan tujuan bimbingan kelompok adalah untuk memungkinkan siswa secara bersama memperoleh berbagai bahan dari narasumber yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari baik sebagai individu maupun sebagai pelajar, anggota keluarga, dan masyarakat. Selain itu, melalui layanan bimbingan kelompok para siswa dapat diajak untuk bersama-sama mengemukakan pendapat tentang sesuatu dan membicarakan topik-topik penting, mengembangkan nilai-nilai tentang hal itu, dan mengembangkan langkah-langkah bersama untuk menangani permasalahan yang dibahas di dalam kelompok. Menurut Hallen (2005:81) fungsi utama bimbingan dan konseling yang didukung oleh layanan bimbingan kelompok ini adalah fungsi pemahaman dan pengembangan.
Tujuan konseling kelompok menurut Prayitno (1997:80) adalah untuk memungkinkan siswa memperoleh kesempatan bagi pembahasan dan pengentasan masalah yang dialami melalui dinamika kelompok. Kemudian Hallen (2005:82) menyatakan bahwa fungsi utama yang didukung oleh layanan konseling kelompok adalah fungsi pengentasan.
E.Permainan Pengakraban
Salah satu permainan pengakraban yang dapat dilaksanakan dalam bimbingan dan/atau konseling kelompok diselenggarakan adalah rangkaian nama. Permainan ini berintikan penggabungan atau perangkaian nama dari semua nggota kelompok, termasuk pembimbing kelompok.
Permainan rangkaian nama dilaksanakan pada awal kegiatan kelompok, yaitu pada tahap pembentukan. Hal ini dilakukan agar semua peserta mengenal dan hafal nama semua anggota kelompok, dan dengan demikian akan meningkatkan keakraban dan kebersamaan antar sesama anggota kelompok. Setiap anggota kelompok (termasuk Guru Pembimbing) berusaha mengenal dan menyebutkan dengan benar nama-nama semua anggota kelompok; dengan demikian semua anggota akan merasa diakui oleh anggota lainnya.
Permainan rangkaian nama ini menuntut pemusatan perhatian dan dapat membawa suasana yang menggembirakan, sehingga suasana kelompok menjadi lebih hangat dan menyenangkan. Permainan ini amat efektif untuk para anggota kelompok yang baru pertama kali bertemu.
SUMBER BACAAN
Hallen, A. 2005. Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Quantum Teaching
Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok (Dasar dan Frofil). Jakarta : Ghalia Indonesia
Prayitno. 1997. Pelayanan Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jakarta : PT Ikrar Mandiriabadi
Prayitno. 2004. Layanan L.1 – L.9. Padang : BK FIP UNP
Langganan:
Komentar (Atom)